Rabu, 04 Januari 2012

MASIH ADAKAH HATI NURANI

Topik : Hak Asasi Manusia
Tentu masih hangat diingatan kita dengan berita – berita seputar tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dan disiksa oleh para majikannya. Bahkan ada yang sampai cacat permanen atau malah dibunuh oleh majikannya. Seperti yang masih kita ingat tentang tenaga kerja wanita kita yang digunting bibirnya bernama Sumiati, serta tenaga kerja Indonesia lain yang meninggal karena disiksa majikannya di luar negeri.Bila kita sebagai manusia yang masih memiliki hati nurani tentu kita tidak akan tega mendengar berita seperti ini. Namun pada kenyataannya kejadian seperti itu telah terjadi. Bagaimana bisa seorang manusia setega itu menyiksa bahkan membunuh pembantunya yang sehari – harinya membantu pekerjaan rumah tangganya. Apakah orang seperti itu pantas disebut sebagai manusia. Bila dilihat dari segi hak asasi manusia memang hal – hal seperti pada kasus tersebut merupakan pelanggaran hak asasi  manusia. Namun disisi lain bila dilihat dari sudut pandang yang lain hal itu tidak sepenuhnya kesalahan si majikan. Akan tetapi pertama - tama mari kita lihat dari kacamata hak asasi manusia dengan diawali dari pengertian.
Pada dasarnya hak adalah suatu kewenangan untuk dapat melakukan sesuatu tanpa ada tekanan dari luar. Sedangkan hak asasi manusia sendiri memiliki pengertian “hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau bangsa.”(Yasni,2010:244). Bukankah dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa hak asasi manusia itu adalah suatu karunia Tuhan dan harus dijaga, selain itu hak asasi tiap manusia harus dihormati oleh semua manusia sebab hak asasi setiap orang itu sama. Akan tetapi manusia tetaplah manusia, tetap melanggarnya meskipun itu dilarang. Padahal seperti yang kita semua tau bahwa hak asasi manusia memiliki berbagai landasan hukum. Seperti UUD 1945 pasal 28A hingga pasal 28J lalu UU no.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM serta UU no.39 tahun 1999 tentang HAM (Yasni,2010:250)
Meski banyak aturan – aturan yang membahas tentang HAM tetap saja manusia melanggarnya yang menyebabkan manusia seperti dikembalikan seperti jaman dahulu ketika belum ditemukannya adat. Sebelum berlanjut, tentu timbul pertanyaan di pikiran kita apakah yang dimaksud pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran HAM atau hak asasi manusia adalah semua perbuatan baik disengaja maupun tidak disengaja yang menyebabkan seseorang berkurang atau merasa rugi atas hak – hak yang dimilikinya. Tentu setiap orang tidak ingin hak – haknya dilanggar oleh orang lain walaupun orang tersebut melakukannya. Kini bila diaplikasikan pada kasus yang telah dijelaskan diatas maka kasus tersebut termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Berdasarkan UUD 1945 pasal 28A menyebutkan “setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan hidupnya” (Lubis,2009:287). Dari isi pasal tersebut bukankah sudah jelas bahwa tidak ada seorangpun yang berhak untuk menentukan akhir hidup seseorang. Bahkan hal ini dipertegas lagi pada UUD 1945 pasal 28I ayat 1 yang berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”(Lubis,2009:287). Hanya Tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang. Tak terkecuali seorang majikan bahkan orang – orang yang bekerja sebagai algojo juga sebenarnya tidak berhak untuk membunuh orang walaupun orang tersebut bersalah.
Namun bila ditinjau kembali seorang algojo membunuh orang bukan karena kemauannya sendiri akan tetapi merupakan suatu tugas. Tugas tersebut juga diberikan dengan banyak pertimbangan, salah satunya adalah kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan sang pelaku sehingga membuatnya harus dihukum mati. Kembali pada topik utama kita, tentu dalam pikiran kita kini timbul pertanyaan sebenarnya kesalahan apa yang dilakukan oleh pembantu tersebut hingga si majikan tega membunuh pembantu tersebut. Memang bila dipikir – pikir, kesalahan apapun seharusnya tak layak dengan hukuman seperti itu. Padahal kesalahan yang dilakukannya mungkin sebenarnya dapat dimaafkan. Namun apabila kita melihat dari sudut pandang majikan, kesalahan tersebut tidaklah sepenuhnya salah kesalahan si majikan. Bukankah kebanyakan tenaga kerja – tenaga kerja yang dikirim keluar negeri merupakan orang – orang dengan pendidikan rendah atau lebih halusnya seadanya. Dan dengan keterampilan seadanya tersebut mereka mengadu nasib di negara lain.
Dan karena keterampilan seadanya itu mereka tentu sering melakukan kesalahan. Seperti contoh, karena keterampilan terbatas terutama pada bidang bahasa sehari - hari, ketika seorang majikan menyuruh pembantunya untuk melakukan sesuatu namun pembantu tersebut kadang salah paham dengan tugas tersebut sehingga pembantu tersebut melakukan kesalahan. Serta tidak jarang si pembantu melakukan kesalahan yang sangat membuat si majikan marah besar. Seperti halnya, ketika si pembantu diberikan tugas oleh si majikan untuk mencuci baju yang sangat mahal serta hanya ada satu – satunya karena didesain langsung dari perancang terkenal dan khusus untuk si majikan tersebut, namun sialnya si pembantu salah menangkap tugas tersebut dan mengira bahwa baju itu adalah baju biasa yang hanya dicuci dengan cara yang biasa pula yang sebenarnya memiliki cara khusus sendiri untuk mencucinya. Dan ketika baju itu selesai dicuci dan ternyata rusak, tentu si majikan marah besar. Bila kita berada di posisi si majikan apa yang kita lakukan. Tentu kita akan marah besar dan itulah yang kebanyakan terjadi pada kasus – kasus seperti itu. Dan kejadian – kejadian seperti hal itu sering terjadi dalam kehidupan para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Akan tetapi masih tidaklah adil bila kesalahan seperti contoh tersebut dibayar dengan penganiayaan yang dilakukan oleh si majikan, karena bila dilihat dari sisi konsekwensinya, kematian masih terlalu mahal harganya untuk kesalahan seperti apapun. Bukankah Tuhan itu Maha Pemaaf, seharusnya kita sebagai manusia juga harus bisa memaafkan walaupun terkadang memaafkan itu sulit. Bercermin dari masalah tersebut, maka solusi terbaik untuk masalah seperti kasus tersebut adalah dengan memberikan pelatihan khusus untuk para tenaga kerja yang hendak dikirim ke luar negeri. Bukan hanya pelatihan abal – abal yang bahkan tidak terbukti hasilnya dan hanya menghasilkan kesalahan dan penderitaan. Apabila pelatihan lebih diperketat terutama dalam hal bahasa sehari – hari maka kemungkinan untuk terjadinya salah paham antara majikan dengan pembantu bisa diperkecil sehingga menekan tingginya angka penganiayaan pada tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Referensi :
-Yasni.(2010).Citizenship.Media Aksara.Bogor.
-Lubis.(2009).Kontroversi Hukuman Mati.Buku Kompas.Jakarta.